Penelitian ini mengkaji tentang KDRT yang dilakukan oleh suami terhadap istrinya yang dipicu oleh sifat istri yang gampang mengeluarkan kata kasar kepada suaminya seperti yang melatar belakangi kejadian KDRT yang tidak lain karena sang istri mengeluarkan kata “anjingko”, “tailasoko” dan “anak bule” kepada suami ketika diberikan uang seniali Rp. 50.000,- yang menurut sang istr tidak cukup untuk
keperluan membayar arisan dan membeli ikan, alih-alih menjelaskan ketidakcukuoan sang istri malah mengatai suami dengan kasar. Penelitian ini menggunakan penggabungan metode empiris dan normatif dengan pendekatan perundang-undangan (statute approach), doktrinal dan sosial berdasarkan pada fakta di masyarakat. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa KDRT yang terjadi merupakan KDRT kali pertama yang dipicu oleh sifat sanksi korban (istri) yang kasar dan kurang menghargai terdakwa (suami) dan Majelis Hakim dalam menjathkan pidana hukum kepada terdakwa dalam timbangnnya sebagaimana dalam Putusan No. 56/PID.Sus/2019/PN Mjn mempertimbangkan fakta-fakta dalam persidangan dengan mengaitkannya kepada dokrtin dan tujuan hukum pidana di Indonesia yaitu putusan dilakukan “demi keadilan berdasarkan ketuhanan yang Maha Esa” dalam rangka meneggakkan hukum dengan dilandasi nilai-nilai kemanusiaan yang berkeadilan sosial, namun nampaknya dalam menjatuhkan putusan kepada terdakwa, Majelis Hakim seolah hanya berpatokan pada pembuktian kesalahan yang dilakukan terdakwa yang seharusnya juga melihat alasan dilakukannya dan bagaimana penjatuhan hukum tidak terkesan sebagai alat untuk balas dendam namun juga pembinaan baik kepada terdakwa maupun korban yang dalam hal ini merupakan suami istri.