Penerapan restorative justice pada kasus kekerasan seksual dalam praktiknya masih seringkali ditemukan meskipun telah ada regulasi yang mengatur larangan proses penyelesaian diluar pengadilan kecuali terhadap pelaku anak. Penelitian ini merupakan penelitian hukum normatif, untuk mengetahui ratio legis prinsip restorative justice tidak boleh diterapkan pada kasus kekerasan seksual dan untuk mengetahui mengapa pada praktiknya restorative justice masih diterapkan pada kasus kekerasan seksual. Hasil Penelitian ini menunjukan bahwa penerapan restorative justice tidak boleh diterapkan pada kasus kekerasan seksual didasarkan pada Naskah Akademik RUU TPKS dan stigma yang timbul bahwa restorative justice hanya sebuah cara bagi aparat penegak hukum yang tidak bersunguhsungguh menjalankan tugas dan kewajibannya serta perlunya hukum yang dapat memberikan efek jera kepada pelaku untuk menghindari potensi pengulangan kejahatan. Pada praktiknya masih diterapkan restorative justice karena dipengaruhi oleh faktor penegakan hukum itu sendiri serta keadaan-keadaan yang memungkinkan untuk diberlakukan restorative justice. Menurut penulis, Pasal 23 seharusnya tidak diberlakukan absolut pada semua kasus kekerasan seksual, karena dapat menutup keadilan bagi korban dan pelaku yang sepakat untuk menyelesaikan konflik melalui mediasi tanpa melalui proses peradilan.