Kemajuan teknologi di Indonesia, khususnya pada ponsel, telah memudahkan akses internet dan memperluas penggunaan aplikasi media sosial seperti Facebook, Instagram, Telegram, Twitter, dan WhatsApp. Kemudahan dalam berbagi informasi melalui fitur-fitur canggih juga membuka peluang bagi tindak kejahatan, salah satunya kekerasan seksual berbasis elektronik. Kejahatan ini mencakup penyebaran dokumen bermuatan seksual tanpa persetujuan korban, sering terjadi pada pasangan kekasih yang berkonflik. Tindakan ini merugikan korban, terutama perempuan, baik secara psikologis maupun sosial. Dalam konteks hukum, muncul dilema mengenai undang-undang yang tepat digunakan untuk
menindak kekerasan seksual berbasis elektronik. Peraturan terkait termasuk Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), UndangUndang Nomor 44 Tahun 2008 Tentang Pornografi, Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik, dan UndangUndang No. 12 Tahun 2022 Tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual. Asas lex specialis systematis diperlukan ketika terjadi benturan antara peraturan-peraturan tersebut. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis penerapan asas lex specialis systematis pada kasus kekerasan seksual berbasis elektronik. Tiga parameter utama digunakan untuk menentukan undang-undang yang paling tepat: penyimpangan ketentuan pidana materiil, ketentuan pidana formil, dan subjek hukum yang bersifat khusus. Selain itu, analisis juga dilakukan terhadap kasus-kasus terkait, seperti Putusan Pengadilan Polewali Nomor 228/Pid.B/2023/PN. Pol, untuk
memahami alasan-alasan hukum yang digunakan hakim. Hasil penelitian diharapkan memberikan panduan dalam penerapan hukum terhadap tindak
pidana kekerasan seksual berbasis elektronik dan penilaian kekuatan bukti elektronik dalam pengadilan.